Alat Berpikir Super Penting! | Berpikir Kontekstual

bean man ideas light

"Banyak Anak Banyak Rezeki", "Rajin Pangkal Pandai", "Hemat Pangkal Kaya", dan lain-lain... Familiar dengan kata-kata tersebut? Apakah Anda juga salah satu yang mengagungkan prinsip-prinsip di atas dan menjadikannya sebagai 'kata-kata mutiara'?

Seiring dengan kedewasaan saya, besarnya kapasitas saya, kualitas guru-guru saya, saya jadi makin dan makin menyadari bahwa ada satu alat berpikir yang SANGAT PENTING. Alat berpikir yang (mungkin) menjadi pembatas tak terlihat antara si sukses dan si tak sukses...

Hm... menarik sekali bukan?

Jadi, apa alat berpikir yang SANGAT PENTING itu?

Itu dinamakan berpikir KONTEKSTUAL...

Jika ada yang berkata, 'Banyak Anak Banyak Rezeki', ada dua kemungkinan yang terbersit di otak saya...

Kemungkinan pertama adalah bahwa si bapak menyiapkan semua anaknya untuk menjadi entrepreneur, menjadi mandiri, dan tentu saja, secara tak langsung, semakin banyak anaknya, semakin banyak rezekinya (di masa depan).

Tapi, jika si bapak adalah karyawan, yang menasihatkan anaknya untuk bersekolah yang tinggi dan cari pekerjaan di perusahaan yang bagus, maka pepatah "Banyak Anak Banyak Rezeki" menjadi tidak berlaku...

Kenapa? Karena pemerintah mencanangkan KB, anak setelah anak kedua tak akan diberi bonus. Zaman sekarang, jika Anda bukan orang dengan penghasilan yang bagus, gagasan 'banyak anak banyak rezeki', jelas salah. Bahkan, bisa jadi "Banyak Anak Kurang Rezeki". Jelas, karena yang harus diberi makan juga bertambah.

'Rajin Pangkal Pandai', apa benar?

Saya tidak selalu setuju dengan pepatah ini. Kenapa?

Ujian masuk perguruan tinggi adalah momen yang sangat menentukan. Beberapa bulan sebelum momen ini berlangsung, ada dua tipe anak yang belajar dengan cara yang berbeda...

Tipe pertama belajar dengan menghapal rumus cepat, tipe kedua belajar dengan menguasai konsep.

Kedua-duanya sama-sama RAJIN. Tapi tipe pertama tak mau peduli dengan konsep karena ingin yang instan. Apalagi banyak LBB sekarang ini yang salah satu nilai promosinya pada rumus cepat.

Sementara tipe kedua belajar untuk mengerti konsep. Memang pada ujian try out, nilainya tak sebagus si penghapal rumus cepat. Namun, semakin bertambahnya waktu, nilainya mengalami peningkatan, sementara si penghapal rumus cepat nilainya konstan.

Si pemaham konsep pun akhirnya menciptakan rumusnya sendiri dan menjadi kreatif. Hingga saat ujian masuk perguruan tinggi tiba.

Berdasar pengalaman tahun-tahun lalu, para pembuat soal untuk ujian masuk perguruan tinggi, tidak mau kecolongan. Mereka buat soal yang tidak mudah ditaklukkan dengan rumus cepat.

Menghadapi soal yang berbeda dengan yang biasanya, tipe pertama, si penghapal rumus cepat, mati kutu. Meski ia sudah serajin tipe kedua, namun cara belajar yang tidak tepat membuat impiannya kandas...

Dan semua itu menunjukkan bahwa tak selamanya rajin itu pangkal pandai. Dengan cara yang salah, rajin itu juga pangkal ke-'dodol'-an (baca: bego).

'Hemat pangkal Kaya'?

Ini malah lebih parah lagi. Mungkin kita akan kaya, tapi dengan cara yang LAMA SEKALI...

Dari zaman dahulu hingga sekarang, para orang kaya adalah yang membuat nilai tambah. Nabi kita sudah mengajarkan, dua domba menjadi sepuluh domba, kemudian menjadi ratusan domba.

Berjualan harus jujur, katakan tepat seperti yang dimiliki produk kita. Berikan nilai tambah pada produk kita yang tak kita sebutkan, mereka akan ketagihan untuk belanja pada kita karena uang yang mereka keluarkan lebih sedikit daripada nilai tambah yang kita berikan.

Memang boros itu tidak baik, tapi apa hemat akan memperbaiki keadaan? Belum tentu! Keadaan bertambah baik (dalam hal finansial) jika kita mengerti ilmu marketing. Bagaimana menjual skill dokter kita jika kita bodoh pada ilmu marketing?

Tanpa ilmu marketing, dokter akan, menaikkan tarif semaunya, tak pasang tanda di depan rumahnya (jika ia buka praktik), tidak menggunakan faktor kali seperti bekerja di rumah sakit, tidak senyum pada pasien, dan lain-lain. Kalau begini, apa si dokter bakal kaya?

See? Bukan hemat yang membuat kaya, tapi ilmu untuk kaya yang menjadikan kita kaya, dan hemat bahkan bisa buat kita terus miskin.

Bukannya saya menyalahkan pepatah lama seperti 'Banyak anak banyak rezeki' atau 'hemat pangkal kaya' atau 'rajin pangkal pandai'. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, berpikir konstekstual (menyeluruh) itu penting.

Akar dari mudahnya bangsa ini di adu domba hingga sekarang adalah karena kurangnya pola pikir kontekstual ini.

Hal yang tidak cocok dengan dirinya, ia anggap 100% salah. Sementara hal yang cocok, ia anggap seratus persen benar. Ga heran 'kan sekarang kenapa agama terbesar di negeri ini, terkotak-kotak dan saling mengharamkan apa yang dianggap halal oleh saudaranya yang tak sealiran?

Malas itu sifat buruk? Suka menunda itu sikap buruk?

Ah... pikir lagi... kalau benar itu sifat yang buruk, pastilah sifat itu sudah punah seiring evolusi kebudayaan manusia.

Letakkan sifat malas dan menunda pada tempatnya, cobalah berpikir kontekstual (menyeluruh), dan akan kau temukan jawabnya mengapa Tuhan meletakkan sifat itu dalam diri manusia.

Tuhan SELALU BENAR (baca: MAHA BENAR), anyway...

Dan segala hal ada tempatnya, termasuk hemat, rajin, malas, dan banyak anak. Hehehe...

Sampai jumpa di post selanjutnya. Salam Pintar!

Mulai sekarang, AlamPintar akan update tiap EMPAT HARI sekali. Jika Anda terlalu sibuk untuk mampir, setidaknya pastikan untuk SELALU BACA artikel keren kami via email. Klik di sini untuk Langganan via E-mail!

Anda diperkenankan MENYALIN tulisan di AlamPintar.org selama menyebutkan SUMBER dan mencantumkan LINK menuju blog ini. Kerugian yang disebabkan karena anda secara salah mengikuti apa yang saya tulis di sini di luar tanggung jawab saya sebagai penulis.